Rabu, 21 Oktober 2009

japan,,japan,,japan,,part 2

Tentang agama
Dalam tanya jawab, saya ditanya
mengapa orang Jepang yang beragama begitu sedikit. Tentu saja
masalah ini terlalu besar bagi saya untuk menjawab. Saat itu saya
menjawab bahwa penyebabnya selama zaman Edo 250 tahun
Pemerintahan TOKUGAWA Bakufu tidak menjamin kebebasan agama,
serta sesudah zaman Meiji orang Jepang sibuk memperlajari hasil
peradaban modern Barat, tidak ada kesempatan untuk mempedulikan
agama. Tetapi sebaiknya saya menambah faktor bahwa pemerintahan
Meiji memaksa agama Shinto versi negara kepada rakyat. Serupa
dengan zaman Edo, sampai Perang Dunia Kedua selesai, rakyat
Jepang tidak dijamin kebebasan agama. Sesudah kalah Perang Dunia
Kedua, Shinto versi negara tidak berpengaruh lagi kepada rakyat.
Rakyat Jepang sibuk untuk memperbaiki kehidupannya di dunia ini
daripada dunia akhirat.

Dasarnya selama hampir satu
setengah abad, Jepang sibuk untuk usaha dunia ini.
Ketidakpedulian tentang agama tidak berarti masyarakat Jepang
tidak punya moral. Menurut pengalaman saya di Indonesia, orang
Jepang di bidang moral tidak lebih jelek daripada orang Indonesia.
Orang Islam dan Kristen (yaitu penganut agama Semitic monoteism)
cenderung berpikir moral berasal dari agama. Tetapi hal itu tidak
benar. Di Eropa juga, Adam Smith sudah menjelaskan asal moral,
tidak berdasarkan atas agama. Dalam karyanya "The theory of
moral sentiments" (Teori perasaan moral), moral berasal dari
naluri asli yang peduli terhadap orang lain, serta pengalaman
dalam masyarakat. Mungkin Ruth Benedict tidak pernah membaca
karya Smith ini. Ruth Benedict menggolongkan kebudayaan Jepang
sebagai "shame culture"(budaya malu) dan kebudayaan
Barat sebagai "guilt culture"(budaya dosa) dalam
karyanya "The Chrysanthemum and the Sword : Patterns or
Japanese Culture"(judul bahasa Jepang: "Kiku to Katana").
Kalau dia pernah membaca karya Smith ini, bisa memahami "guilt
culture" berdasarkan di atas "shame culture"dan
kedua-duanya tidak bisa dipisahkan.
Apalagi kedisiplinan, sama sekali tidak berdasar atas agama.
Seperti dikatakan oleh Lenin, instansi yang mengajar (atau
memaksa) kedisiplinan kepada manusia adalah pabrik dalam sistem
kapitalisme. Selain pabrik, kedisiplinan diajarkan di sekolah dan
tentara. Di Jepang sistem wajib pendidikan dan sistem wajib
militer sekaligus mulai berlaku pada awal zaman Meiji.

Memang orang Jepang tidak
mempercayai agama tertentu, tetapi hal itu tidak berarti orang
Jepang tidak melakukan ibadah agama. Pada tahun baru, kebanyakan
orang Jepang berkunjung ke kuil Buddha atau kuil Shinto untuk
berdoa keselamatan dan kebahagiaan selama tahun baru ini. Ini
namanya hatsumoude ("hatsu" berarti pertama kali,
"moude" berarti ziarah ke kuil atau tempat suci). Saat
itu kuil-kuil terkenal sangat ramai. Satu tahun beberapa kali,
terutama hari ulang tahun meninggalnya kerabat dekat atau bon (pertengahan
bulan Juli atau Agustus) atau higan (21 Maret dan 23 September)
berziarah ke makam nenek moyang. Ini namanya hakamairi. ("haka"
artinya makam, "mairi" artinya pergi, ziarah). Saat
menikah, banyak orang yang melakukan upacara pernikahan di gereja.
Tetapi pada umumnya orang Jepang tidak tahu ajaran agama dan
tidak punya minat pada ajarannya. Orang Jepang sendiri menganggap
semua itu kebiasaan, bukan kegiataan agama.

suasana hatsumoude di Heian Jinguu
di Kyoto, kuil Shinto yang terkenal (foto kiri) dan hakamairi (foto
kanan)

0 komentar: